Budaya Komunikasi Pendidikan Anak Di Luar Negeri
Ambil contoh budaya komunikasi di ruang kelas Australia. Di sana, hubungan antara guru dan siswa dibangun secara egaliter dan terbuka. Siswa didorong aktif berdiskusi, bertanya, bahkan mengemukakan pendapat yang berbeda tanpa rasa takut. Berbanding terbalik, di Indonesia pola komunikasi di kelas masih didominasi oleh pendekatan hierarkis. Guru kerap menjadi satu-satunya sumber pengetahuan, sementara siswa lebih banyak berperan sebagai pendengar. Perbedaan ini mencerminkan nilai budaya pendidikan masing-masing negara. Australia menekankan pada kemandirian dan kemampuan berpikir kritis, sementara Indonesia masih memprioritaskan kepatuhan dan penghormatan terhadap otoritas.
Perbedaan budaya ini juga memiliki peran yang signifikan dalam hal proses perpindahan sekolah. Di Indonesia, masih diwarnai dengan prosedur administratif yang cukup panjang. Orang tua wajib mengajukan surat permohonan, melampirkan surat keterangan dari sekolah asal, dan mendapatkan persetujuan dari dinas pendidikan setempat. Hal ini kerap dianggap mempersulit dan memakan waktu, terutama bagi orang tua yang harus berpindah kota dalam waktu singkat. Sebaliknya, di Australia perpindahan antar sekolah pemerintah berlangsung lebih praktis. Setelah siswa diterima di sekolah baru, data langsung diproses secara digital tanpa memerlukan surat dari orang tua. Sistem ini mencerminkan pendekatan yang lebih terintegrasi dan efisien, serta memberikan kemudahan mobilitas bagi peserta didik.
"di Australia itu semua anak harus sekolah. Harus sekolah betul? Tidak boleh tidak sekolah. sampai usia sebelum 18 tahun. Dari manapun dia berada".
Ujar Haidir Fitra Siagian (alumni Doktor dalam bidang Ilmu Komunikasi) dalam KORONIS Podcast
"Jadi tugas negara di sana itu menyekolahkan anak. Tidak ada surat pindah. Jadi harus sekolah, dan itu wajib".
Tambahnya
Pernyataan Haidir Fitra Siagian menegaskan betapa seriusnya komitmen pemerintah Australia terhadap pendidikan anak. Di negara tersebut, semua anak wajib mengikuti pendidikan formal atau setara hingga usia minimal 17 tahun. Kewajiban ini berlaku tanpa pengecualian, termasuk bagi anak-anak dari keluarga migran atau pendatang. Pemerintah setempat melakukan pengawasan ketat terhadap kehadiran siswa di sekolah, dan orang tua dapat dikenai sanksi hukum jika anak mereka tidak bersekolah tanpa alasan sah. Sistem ini mencerminkan pandangan bahwa pendidikan bukan sekadar pilihan, tetapi hak dasar yang harus dipenuhi oleh negara dan masyarakat.
"kurikulumnya itu boleh jadi sama. Tetapi caranya mendapatkan ilmu itu berbeda".
Ujar Dr. Arham Selo, S.Sos., M.Si. (Mr. KORONIS).
"Dan ini yang menjadi bahan banding dan bahan sanding untuk kembali ke negara kita untuk diterapkan di sini".
Tambahnya
Kutipan Dr. Arham Selo menegaskan bahwa pembaruan dalam dunia pendidikan tidak hanya soal kurikulum, tetapi terletak pada bagaimana ilmu disampaikan dan diterima oleh siswa. Menurutnya, pengalaman belajar di luar negeri bisa menjadi cermin dan bahan evaluasi untuk diterapkan kembali di tanah air. "Ini yang menjadi bahan banding dan bahan sanding untuk diterapkan di sini," ujarnya. Dengan mengadopsi pendekatan komunikasi yang lebih terbuka dan partisipatif seperti di negara maju, Indonesia berpeluang membangun sistem pendidikan yang lebih relevan dan membentuk generasi pembelajar yang aktif serta kritis.
Penulis : Muhammad Asyhari
NIM : 50500122005
Komentar
Posting Komentar